Informatif, edukatif, akurat dan terpercaya menyajikan informasi seputar filsafat, sosial, politik, pemerintahan, buku dan opini.

test pub-9703219827204705, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

9/27/2021

Kontribusi Nyata untuk Bangsa Di Tengah Pandemi : Jadi Penulis? Siapa Takut!

 

Sumber : Pinterest. com


Sebagai pemuda, merujuk pada UU RI tentang Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 pada BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun, maka sebagai wujud kontribusi nyata terhadap bangsa harus terus dilakukan tindakan nyata sebagai bentuk kita berwarga negara yang baik untuk kemajuan bangsa dan negara.

 

            Sukarno, menerangkan jika pemuda sudah berumur 21 tahun namun tidak mempunyai impian dan cita-cita maka gunduli saja kepalanya. Sebagai pemuda banyak hal bisa dilakukan, salah satunya ialah berkontribusi terhadap bangsa dan negara melalui tulisan-tulisan dengan menjadi penulis. 76 tahun Indonesia telah merdeka sejak diproklamasikanya kemerdekaan pada tanggal 17  agustus 1945, kita telah membaca, telah menyaksikan dengan mata  sendiri bahwa bangsa kita disatukan oleh semangat gelora para pendiri bangsa yang rajin membaca dan rajin menulis. Sebut saja Sukarno, Moh.Hatta dan lain-lainnya.

 

            Menulis itu perlu berpikir dan penulis pasti pemikir. Di tengah-tengah pandemi covid-19, tulisan seperti oasis di tengah padang gurung yang berfungsi sebagai penyegar situasi, karena segala hal yang termuat di sosial media, pers, televisi dan segala sarana informasi lainnya yang dapat diliat oleh mata tentu saja tidak lepas dari pengaruh kata-kata yang diimplementasikan dalam tulisan-tulisan baik tulisan fiksi maupun nonfiksi. 

 

            Tetap konsisten untuk menulis atau bahasa halusnya setia menjadi penulis begitu banyak cobaan. Dari Ilmu Sosiologi jelas bahwa lingkungan mempengaruhi pikiran lalu pikiran mempengaruhi tindakan.  Dalam penyesuaian diri di tengah-tengah pandemi ditambah lagi lingkungan di Kalimantan Tengah untuk minat membaca dan menulis sedikit memprihatinkan, membuat penulis-penulis harus kerja ekstra untuk mempertahankan konsistensi dalam dunia menulis sebagai wujud kontribusi kepada bangsa dan negara.  Berdasarkan pada Indeks Aktivasi literasi membaca tahun 2018 yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rata-rata indeks secara nasional masuk kategori literasi rendah dengan angka 37,32.

 

Jadi Penulis? Siapa Takut!

            Seorang sastrawan sejati yang merupakan putra dari bumi pertiwi Indonesia tercinta mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan tenggelam dalam sejarah dan masyarakat. Menulis adalah berkerja untuk keabadian.” Singkat padat dan jelas yang terejawantahkan melalui kalimat tersebut menyampaikan makna kepada kita bahwa karya seorang penulis tidaklah sia-sia. Melainkan akan abadi dikenang  terus menerus dari generasi ke generasi, asalkan tulisannya tetap relavan menembus segala zaman. 

 

            Apakah sulit menjadi penulis di tengah-tengah pandemi covid-19?. Tentu saja itu bergantung pada persepktif setiap orang. Ada yang sulit karena tidak tau caranya memulai untuk menulis. Ada yang mengatakan mudah karena sudah terbiasa menulis. Namun, secara umum di era digitalisasi ditambah dengan situasi pandemi, dewasa ini bagi penulis-penulis yang terbiasa menulis merupakan suatu kesempatan berharga. Saya secara pribadi sebagai bagian dari pemuda Kalimantan Tengah yang sadar akan menulis misalnya, aktif menulis pada laman blog buatan saya, mengikuti perlombaan menulis secara online (salah satunya lomba Essay tentang “Aku dan Mimpiku adalah bagian bangsa”,  yang di selenggarakan oleh PIK-M Barendeng Universitas Palangka Raya), terkadang juga menulis karya tulisan lalu mengirimkannya ke pers mahasiswa yang ada di kampus ataupun mengirimkannya ke pers-pers lokal yang ada di Kalimantan Tengah.

 

            Pada tanggal 22 agustus 2021, telah diumumkan pemenang lomba menulis Narasi  bertemakan, Nasional Is Me : Indonesia Pasti Bisa!, yang diselenggarakan oleh admin dan kawan-kawan  akun instagram Nasionalisme Radikal dan Yayasan Bentang Merah Putih. Dari tema tersebut saya melahirkan judul tulisan naratif yaitu, “Aku, Kamu dan Kita Pasti Bisa : Mari Ubah Stigma!. Sebagai penulis yang mengikuti lomba menulis, tentu saya bersyukur selain dapat memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, saya dapat menyampaikan ide atau gagasan yang tidak sia-sia sehingga mendapatkan Juara 3 lomba menulis Narasi yang diadakan se-nasional serta dapat berkontribusi untuk bangsa dan negara.

 

            Berbicara rasa takut tentu mengingatkan saya akan buku karya Ricky Emanuel yang berjudul “Seri Gagasan Psikoanalisis”, Penulisnya menerangkan bahwa akar dari kegelisahan merupakan ketakutan manusia akan keterpisahan dari yang telah manusia rasakan bahwa telah bersatu. Misalnya, dari kecil kita yang terkhususnya sering bersama orang tua hingga kita dewasa akan sangat merasa takut ketika keterpisahan yang dimaksud Ricky Emanuel ialah kematian orang tua kita. Lalu, apa hubungannya dengan menulis?. Dalam menulispun demikian, ada kecenderungan-kecenderungan rasa takut muncul misalnya ketika tulisan tidak tidak disukai orang lain, tulisan menyakiti perasaan pembaca, tulisan tidak dihargai dan rasa takut lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu terkait dunia menulis. Itu hal yang wajar terjadi, karena selagi manusia itu manusia maka tidak terlepas dari rasa takut. Sekalipun penulis yang sudah profesional pasti pernah merasakan takut karena tulisannya. Untuk berteman dengan rasa takut Ricky Emanuel menawarkan hanya ada satu-satunya cara yaitu sebagai manusia kita harus menerima rasa takut kita sebagai sebuah bentuk reaksi ilmiah, bukan malah berupaya melawannya ataupun membencinya. Jika sudah mampu menerimanya niscaya rasa takut tersebut berangsur-angsur memberikan kita motivasi-motivasi untuk berinovasi menjadi manusia yang produktif terutama dalam dunia menulis.

 

Menjadi Penulis? = Mulailah Menulis!

            Ada sedikit kesan yang saya dapatkan ketika mendengar kata “Buddha” yaitu datang dan buktikan. Hampir persis dengan penulis yaitu datang dan tulislah. Penulis bagi saya hanya dapat dikatakan sebagai penulis jikalau ia melakukan kegiatan tulis menulis untuk menghasikan karya tulisan. Jika tidak menulis bisa jadi juga dapat dikatakan bukan penulis, sebab ia tidak melakukan kegiatan tulis menulis. Di sisi lain, penulis juga bisa dikatakan penulis jika ada karya tulis yang telah dihasilkan dan masih banyak perspektif lain terkait bagaimana seorang penulis dapat dikatakan penulis oleh masyarakat. 

            Apakah kalian mengenal Sukarno, Moh.Hatta, Tan Malaka?. Mereka merupakan orang yang keras dalam menulis. Bahkan hanya karena aktivitas menulis yang begitu berkesinambungan untuk kemerdekaan Indonesia, mereka ditangkap dan dimasukan ke penjara. Bayangkan saja betapa berpengaruhnya tulisan mereka. Namun, yang ingin kita bahas sedikit, bukan seberapa berpengaruhnya tulisan-tulisan beberapa tokoh tersebut, tapi tentang kebiasaan menulis yang mereka bentuk sehingga menulis ibarat kata sebuah napas, tidak menghasilkan karya sama saja seperti tidak bernapas atau bahasa lembutnya telah tiada di dunianya kepenulisan. Semua berawal dari kebiasaan. Menurut Tere Liye, merupakan penulis novel terkenal dari Indonesia menyampaikan bahwa kebiasaan menulis terbentuk setelah 90 hari terlewati dengan hitungan 1 hari 1 kali menghasilkan karya tulis, artinya membuat 90 karya selama 90 hari. Saya pernah mencobanya, bulan pertama saya berhasil. Namun dibulan ke dua menuju ke bulan ke tiga bukanlah hal yang mudah karena salah satu sifat dasar manusia ialah tidak ingin susah, dalam artian maunya yang mudah dan kalau bisa dilakukan sambil malas yah dijalankan saja. Alhasil, saya harus mengulang lagi dari awal, sampai akhirnya setelah beberapa kali gagal saya berhasil dan saat sekarang timbul dipikiran saya rasanya kalau tidak menulis sehari saja, ada perbedaan secara signifikan. Itulah kebiasaan, lama-lama terbiasa dan ketika terbiasa aku, kamu dan kita pasti merasakan hal yang sama ketika tidak melakukan apa yang sering kita lakukan. Jadi, inti sari dari menulis adalah mulailah menulis.

 

Akhir Kata

            Dengan menulis untuk kepentingan bangsa dan negara kita bisa menunjukan tindakan nyata kita sebagai pemuda yang tidak hanya diam saja dengan keadaan lingkungannya. Dengan menulis juga kita dapat mencurahkan isi pikiran kita sebagai manusia yang merdeka dalam berpikir di tengah-tengah pandemi covid-19 yang melanda kita saat ini. Dengan menulis pula kita dapat menyadarkan orang lain di era digitalisasi saat ini agar senantiasa untuk bahu membahu saling membangun satu sama lain untuk kemajuan bangsa dan negara serta turut berkontribusi mencerdasakan kehidupan bangsa yang mana diumurnya  ke-76 saat ini melalui sosial media, pers dan sarana prasarana penunjang penulis lainnya.

           

 

Daftar Pustaka

Edisi RRI.co.id, “Budaya Literasi Rendah, Balai Bahasa Kalteng Membengkel Masyarakat. 25 Juli 2021.

UU 40 tahun 2009.

Munsyi, Danya Alif. 2012.  Jadi Penulis? Siapa Takut!. Bandung.  Penerbit Kaifa

Emanuel, Ricky. 2003. Kegelisahan. Jogjakarta. Pohon Sukma

GMNI, Alumni Persatuan. Pancasila dan Globalisasi. Jakarta. Persatuam Alumni GMNI

           


           (Tulisan di atas telah diikutsertakan dalam perlombaan  Essay tentang “Aku dan Mimpiku adalah bagian bangsa”,  yang diselenggarakan oleh PIK-M Barendeng Universitas Palangka Raya) 

 


1 comment:

Post Top Ad

Your Ad Spot

PAGES