Sumber : Pinterest. com |
Sebagai pemuda, merujuk
pada UU RI tentang Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 pada BAB 1 Ketentuan Umum
Pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang
memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam
belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun, maka sebagai wujud kontribusi nyata
terhadap bangsa harus terus dilakukan tindakan nyata sebagai bentuk kita
berwarga negara yang baik untuk kemajuan bangsa dan negara.
Sukarno, menerangkan jika pemuda sudah berumur 21 tahun
namun tidak mempunyai impian dan cita-cita maka gunduli saja kepalanya. Sebagai
pemuda banyak hal bisa dilakukan, salah satunya ialah berkontribusi terhadap
bangsa dan negara melalui tulisan-tulisan dengan menjadi penulis. 76 tahun
Indonesia telah merdeka sejak diproklamasikanya kemerdekaan pada tanggal
17 agustus 1945, kita telah membaca, telah
menyaksikan dengan mata sendiri bahwa
bangsa kita disatukan oleh semangat gelora para pendiri bangsa yang rajin
membaca dan rajin menulis. Sebut saja Sukarno, Moh.Hatta dan lain-lainnya.
Menulis itu perlu berpikir dan penulis pasti pemikir. Di
tengah-tengah pandemi covid-19, tulisan seperti oasis di tengah padang gurung
yang berfungsi sebagai penyegar situasi, karena segala hal yang termuat di
sosial media, pers, televisi dan segala sarana informasi lainnya yang dapat
diliat oleh mata tentu saja tidak lepas dari pengaruh kata-kata yang
diimplementasikan dalam tulisan-tulisan baik tulisan fiksi maupun
nonfiksi.
Tetap konsisten untuk menulis atau bahasa halusnya setia
menjadi penulis begitu banyak cobaan. Dari Ilmu Sosiologi jelas bahwa
lingkungan mempengaruhi pikiran lalu pikiran mempengaruhi tindakan. Dalam penyesuaian diri di tengah-tengah
pandemi ditambah lagi lingkungan di Kalimantan Tengah untuk minat membaca dan
menulis sedikit memprihatinkan, membuat penulis-penulis harus kerja ekstra
untuk mempertahankan konsistensi dalam dunia menulis sebagai wujud kontribusi
kepada bangsa dan negara. Berdasarkan
pada Indeks Aktivasi literasi membaca tahun 2018 yang dirilis oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, rata-rata indeks secara nasional masuk kategori
literasi rendah dengan angka 37,32.
Jadi Penulis? Siapa Takut!
Seorang sastrawan
sejati yang merupakan putra dari bumi pertiwi Indonesia tercinta mengatakan,
“Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan
tenggelam dalam sejarah dan masyarakat. Menulis adalah berkerja untuk
keabadian.” Singkat padat dan jelas yang terejawantahkan melalui kalimat
tersebut menyampaikan makna kepada kita bahwa karya seorang penulis tidaklah
sia-sia. Melainkan akan abadi dikenang
terus menerus dari generasi ke generasi, asalkan tulisannya tetap
relavan menembus segala zaman.
Apakah sulit menjadi penulis di tengah-tengah pandemi
covid-19?. Tentu saja itu bergantung pada persepktif setiap orang. Ada yang
sulit karena tidak tau caranya memulai untuk menulis. Ada yang mengatakan mudah
karena sudah terbiasa menulis. Namun, secara umum di era digitalisasi ditambah
dengan situasi pandemi, dewasa ini bagi penulis-penulis yang terbiasa menulis
merupakan suatu kesempatan berharga. Saya secara pribadi sebagai bagian dari
pemuda Kalimantan Tengah yang sadar akan menulis misalnya, aktif menulis pada
laman blog buatan saya, mengikuti perlombaan menulis secara online (salah
satunya lomba Essay tentang “Aku dan Mimpiku adalah bagian bangsa”, yang di selenggarakan oleh PIK-M Barendeng
Universitas Palangka Raya), terkadang juga menulis karya tulisan lalu
mengirimkannya ke pers mahasiswa yang ada di kampus ataupun mengirimkannya ke
pers-pers lokal yang ada di Kalimantan Tengah.
Pada tanggal 22 agustus 2021, telah diumumkan pemenang
lomba menulis Narasi bertemakan,
Nasional Is Me : Indonesia Pasti Bisa!, yang diselenggarakan oleh admin dan
kawan-kawan akun instagram Nasionalisme
Radikal dan Yayasan Bentang Merah Putih. Dari tema tersebut saya melahirkan judul
tulisan naratif yaitu, “Aku, Kamu dan Kita Pasti Bisa : Mari Ubah Stigma!.
Sebagai penulis yang mengikuti lomba menulis, tentu saya bersyukur selain dapat
memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, saya dapat menyampaikan
ide atau gagasan yang tidak sia-sia sehingga mendapatkan Juara 3 lomba menulis
Narasi yang diadakan se-nasional serta dapat berkontribusi untuk bangsa dan
negara.
Berbicara rasa takut tentu mengingatkan saya akan buku
karya Ricky Emanuel yang berjudul “Seri Gagasan Psikoanalisis”, Penulisnya
menerangkan bahwa akar dari kegelisahan merupakan ketakutan manusia akan
keterpisahan dari yang telah manusia rasakan bahwa telah bersatu. Misalnya,
dari kecil kita yang terkhususnya sering bersama orang tua hingga kita dewasa
akan sangat merasa takut ketika keterpisahan yang dimaksud Ricky Emanuel ialah
kematian orang tua kita. Lalu, apa hubungannya dengan menulis?. Dalam menulispun
demikian, ada kecenderungan-kecenderungan rasa takut muncul misalnya ketika
tulisan tidak tidak disukai orang lain, tulisan menyakiti perasaan pembaca,
tulisan tidak dihargai dan rasa takut lainnya yang tidak bisa disebutkan satu
persatu terkait dunia menulis. Itu hal yang wajar terjadi, karena selagi
manusia itu manusia maka tidak terlepas dari rasa takut. Sekalipun penulis yang
sudah profesional pasti pernah merasakan takut karena tulisannya. Untuk
berteman dengan rasa takut Ricky Emanuel menawarkan hanya ada satu-satunya cara
yaitu sebagai manusia kita harus menerima rasa takut kita sebagai sebuah bentuk
reaksi ilmiah, bukan malah berupaya melawannya ataupun membencinya. Jika sudah
mampu menerimanya niscaya rasa takut tersebut berangsur-angsur memberikan kita
motivasi-motivasi untuk berinovasi menjadi manusia yang produktif terutama
dalam dunia menulis.
Menjadi Penulis? = Mulailah Menulis!
Ada sedikit kesan yang saya dapatkan ketika mendengar
kata “Buddha” yaitu datang dan buktikan. Hampir persis dengan penulis yaitu
datang dan tulislah. Penulis bagi saya hanya dapat dikatakan sebagai penulis
jikalau ia melakukan kegiatan tulis menulis untuk menghasikan karya tulisan.
Jika tidak menulis bisa jadi juga dapat dikatakan bukan penulis, sebab ia tidak
melakukan kegiatan tulis menulis. Di sisi lain, penulis juga bisa dikatakan
penulis jika ada karya tulis yang telah dihasilkan dan masih banyak perspektif
lain terkait bagaimana seorang penulis dapat dikatakan penulis oleh
masyarakat.
Apakah kalian mengenal Sukarno, Moh.Hatta, Tan Malaka?.
Mereka merupakan orang yang keras dalam menulis. Bahkan hanya karena aktivitas
menulis yang begitu berkesinambungan untuk kemerdekaan Indonesia, mereka
ditangkap dan dimasukan ke penjara. Bayangkan saja betapa berpengaruhnya
tulisan mereka. Namun, yang ingin kita bahas sedikit, bukan seberapa
berpengaruhnya tulisan-tulisan beberapa tokoh tersebut, tapi tentang kebiasaan
menulis yang mereka bentuk sehingga menulis ibarat kata sebuah napas, tidak
menghasilkan karya sama saja seperti tidak bernapas atau bahasa lembutnya telah
tiada di dunianya kepenulisan. Semua berawal dari kebiasaan. Menurut Tere Liye,
merupakan penulis novel terkenal dari Indonesia menyampaikan bahwa kebiasaan
menulis terbentuk setelah 90 hari terlewati dengan hitungan 1 hari 1 kali
menghasilkan karya tulis, artinya membuat 90 karya selama 90 hari. Saya pernah
mencobanya, bulan pertama saya berhasil. Namun dibulan ke dua menuju ke bulan
ke tiga bukanlah hal yang mudah karena salah satu sifat dasar manusia ialah
tidak ingin susah, dalam artian maunya yang mudah dan kalau bisa dilakukan
sambil malas yah dijalankan saja. Alhasil, saya harus mengulang lagi dari awal,
sampai akhirnya setelah beberapa kali gagal saya berhasil dan saat sekarang
timbul dipikiran saya rasanya kalau tidak menulis sehari saja, ada perbedaan
secara signifikan. Itulah kebiasaan, lama-lama terbiasa dan ketika terbiasa
aku, kamu dan kita pasti merasakan hal yang sama ketika tidak melakukan apa
yang sering kita lakukan. Jadi, inti sari dari menulis adalah mulailah menulis.
Akhir Kata
Dengan menulis
untuk kepentingan bangsa dan negara kita bisa menunjukan tindakan nyata kita
sebagai pemuda yang tidak hanya diam saja dengan keadaan lingkungannya. Dengan
menulis juga kita dapat mencurahkan isi pikiran kita sebagai manusia yang
merdeka dalam berpikir di tengah-tengah pandemi covid-19 yang melanda kita saat
ini. Dengan menulis pula kita dapat menyadarkan orang lain di era digitalisasi
saat ini agar senantiasa untuk bahu membahu saling membangun satu sama lain
untuk kemajuan bangsa dan negara serta turut berkontribusi mencerdasakan kehidupan
bangsa yang mana diumurnya ke-76 saat
ini melalui sosial media, pers dan sarana prasarana penunjang penulis lainnya.
Daftar Pustaka
Edisi RRI.co.id,
“Budaya Literasi Rendah, Balai Bahasa Kalteng Membengkel Masyarakat. 25 Juli
2021.
UU 40 tahun 2009.
Munsyi, Danya Alif.
2012. Jadi Penulis? Siapa Takut!. Bandung. Penerbit Kaifa
Emanuel, Ricky. 2003. Kegelisahan. Jogjakarta. Pohon Sukma
GMNI, Alumni Persatuan.
Pancasila dan Globalisasi. Jakarta.
Persatuam Alumni GMNI
(Tulisan di atas telah diikutsertakan dalam perlombaan Essay tentang “Aku dan Mimpiku adalah bagian bangsa”, yang diselenggarakan oleh PIK-M Barendeng Universitas Palangka Raya)
tingkatkan!
ReplyDelete