Sumber Gambar : Pinterest |
Pada suatu hari di pulau-pulau panca warna yang elok
rupanya, tinggallah mahluk hidup yang berambut hitam, kriting, lurus, ikal, ada
juga yang disanggul. Berbaju adat, membawa senjata khas tradisional sembari
ditemani ritual-ritual bermandikan adat istiadat yang kental. Ribuan mahluk
hidup itu dinamakan manusia, tinggal di sebuah negeri bernama nusantara.
Manusia-manusia itu lebih akrab dikenal dengan sebutan manusia pribumi yang
hidup dalam sistem kerajaan-kerajaan. Di sisi lain nampaklah manusia pribumi
yang berjalan diseret oleh sistem feodal, namun masih akrab dengan hutan asri,
indah nan menggugah imaji.
Sampai
pada suatu ketika yang tidak disangka-sangka, datanglah manusia lain yang
berbeda dengan mereka. Tinggi, kekar, berhidung mancung, penuh dengan peralatan
lengkap di kapal yang dilatarbelakangi dengan pencarian rempah-rempah. Tapi
motif yang dibumbui rempah-rempah itu tidak bertahan lama. Segera dimasak
dengan sumpah serapah karena melanggar aturan yang di sumpah menciptakan
monopoli tidak sehat berbau menjajah. Hingga akhirnya mereka disebut penjajah.
Tercatat
dalam sejarah nusantara atau sekarang disebut Indonesia. Penjajah itu ialah
Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942), Perancis
(1806-1811). Inggris (1811-1816), Jepang (1942-1945).
Diam
adalah bijak, tapi jika diam kita diinjak-injak, maka hanya ada satu kata,
“Lawan!”. Begitu pula manusia pribumi di nusantara atau penyebutan hari ini
oleh masyarakat Indonesia, jika diamnya diinjak-injak, aturannya dilanggar,
fisiknya dipaksakan dengan kerja paksa, soudara-soudaranya dibunuh, diperkosa,
tanah kelahiranya diambil tanpa belas kasihan, lalu parahnya diperbudak
pikirannya dengan kebodohan, sejarah dipalsukan menjadi seolah-olah para
penjajah itulah yang paling agung dan dewa bagi masyarakat Indonesia. Tentunya,
apakah kita diam dan tidak mempertahankan kehormatan dan harga diri serta
merebut kembali kemerdekaan kita?
Bung
Karno dalam bukunya “Indonesia Menggugat” menerangkan negeri yang menjajah
negeri lainnya bukan karena negeri itu kaya, melainkan negeri itu miskin sekali,
sehingga Indonesia yang kaya raya alamnya menjadi bulan-bulanan penjajah yang
tidak segan-segan merengut kebahagiaan yang kita harapkan.
Berbicara
nasionalisme tidak hanya pada tatanan pembicaraan, melainkan seyogianya sudah
mendarah daging menyebar ke tulang sum-sum, mengalir melalui darah dan
memberikan kita napas kehidupan serta penyadaran akan kebodohan bahwasannya
penindasan manusia atas manusia harus dihapuskan. Para sosiolog bersepakat
bahwa tumbuh dan berkembangnya nasionalisme merupakan hasil kontruksi sosial.
Benedict Anderson, mengatakan rasa kebangsaan lahir, tumbuh, berkembang dan
terbentuk lewat proses imajinasi; dalam suatu komunitas, membayangkan kesamaan
nasib antara anggota masyarakat, lewat konsepnya, imagined communities. Inilah yang dari awal oleh para pendiri
bangsa menjadi bagian pertama membentuk bangsa ini dalam mengisi kemerdekaan.
Munculnya organisasi pergerakan nasional di Indonesia merupakan cikal bakal
perlawanan masyarakat-masyarakat dalam mempertahankan kehormatan dan harga
dirinya. Sebut saja Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Perhimpunan
Indonesia, Indische Sosial Democratische Vereeniging (ISDV), Partai Nasional
Indonesia (PNI), dan masih banyak lagi. Kita patut mensyukurinya karena kita
sebagai bangsa Indonesia mempunyai masa lalu indah dalam dunianya perjuangan,
kebersamaan, persatuan, solidaritas yang besar untuk melawan satu musuh yaitu
penjajah dan bertujuan menghancurkan sistem yang sama adalah kolonialisme,
imperialisme dan kapitalisme.
75
tahun Indonesia sudah merdeka dan berjalan menuju tahunnya yang ke-76. Pandemi
covid-19 menjadi momok bersama yang tidak bisa dianggap biasa saja. Dampak yang
kita rasakan secara nasional menjurus pada semua lini baik sosial, politik,
ekonomi, hukum, teknologi dan lain-lain. Semua lini itu dimodernisasi dengan
kata serba “Online”. Manusia dalam membuat masalah dan menyelesaikan masalah
tidak lagi dominan di dunia offline, sebaliknya di dunia online. Serba-serbi
inovasi ini yang membuat media dewasa menjadi alat perjuangan maupun sekaligus
bisa menjadi penindas dalam menciptakan stigma-stigma anti pancasila maupun
nasionalisme Indonesia.
Makna
Pancasila 1 juni 1945 dan arti nasionalisme yang sebenarnya di masa lampau
haruslah dapat menyesuaikan zaman karena nasionalisme dan pancasila bukanlah
suatu konsep dan terminologi yang mati, melainkan diaktualisasikan sesuai
perjalanan waktu dan situasi kontekstual perkembangan zaman.
Nasionalisme
kita adalah kemanusiaan, ujar bung Karno. Bukan sebagai bangsa yang
menganggap bangsanya lebih tinggi dari bangsa lain, bukan sebagai bangsa yang
terlalu berlebihan mencintai bangsanya lalu bangsa lain direndahkan. Kita hidup
beradat matipun beradat. Pancasila yang diperas dari lima butir menjadi tiga
butir yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan yang Maha Esa.
Jika diperas lagi dari tiga butir menjadi satu butir maka hasilnya ialah gotong
royong. Perasaan yang sudah menjadi satu kesatuan itu janganlah hanya menjadi
gema suara di sebuah goa. Apa yang dilakukan dan disampaikan oleh para pendiri
bangsa dan rakyat Indonesia sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya tidak boleh
terdistorsi maknanya lalu berubah menjadi simalakrum. Amalkanlah Pancasila
sebagai sebuah pandangan hidup di dunianya kita, baik sebagai petani, buruh,
mahasiswa, nelayan dan apapun status dan perkerjaan kita sekarang.
Kembalilah
ke titik nol makna perjuangan bangsa Indonesia yang berjuang bukan untuk
dirinya sendiri melainkan melawan musuh bersama hari ini yang tidak lain adalah Neo
Kapitalisme itu pada persimpangan jalan untuk mengali kuburnya sendiri.
Aku,
kamu dan kita semua mari bersolidaritas dalam banyak perbedaan untuk mengingat
baik-baik makna dari Pancasila dalam amalan perjuangan masa kini di dunia media
untuk meruntuhkan ancaman perpecahan dan ketidakpercayaan antar sesama anak
bangsa. “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan
sulit karena melawan bangsamu sendiri”, begitulah pernyataan yang dilantunkan
dengan suara lantang oleh seorang yang kerap dipanggil dengan Kusno dan lebih
suka dipanggil dengan sebutan bung.
Akhirnya,
yakin saja dulu, bahwasannya Indonesia pasti bisa di masa yang akan datang baik
saat menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka 2045 atau Indonesia emas atau
malah beratus-ratus tahun yang akan datang kita dapat menjadi bangsa yang
membangun saebuah kesadaran kritis masyarakatnya serta dapat membangun suatu
dunia di mana semua bangsa dapat hidup dalam damai dan persoudaraan.
Palangka Raya,
22 Mei 2021
Tulisan di atas
telah memenangkan lomba menulis Narasi dengan tema “Nasionalisme Indonesia
Pasti Bisa” yang diselenggarakan oleh teman-teman pemilik akun Instagram
Nasionalisme Radikal dan Yayasan Bentang Merah Putih, dengan penghargaan
mendapatkan juara 3 menulis Naratif Se-Nasional.
👍
ReplyDeletebriliant.
ReplyDelete❤️❤️
ReplyDeleteTingkatkan🌹
ReplyDeleteTulisan yang bermanfaat!
ReplyDelete