“Hidup yang tidak diperiksa
tidak layak dijalani.” Socrates
Pada
pembahasan kali ini saya mengajak teman-teman pembaca untuk bersama-sama
mencari tahu gejala-gejala kehidupan terkhususnya pada dunia sosial kita agar
dapat mendiaknosa penyakitnya segera, sehingga terhindar dari kematiaan sosial.
Dalam bukunya Plato yang berjudul Republik, ia mengumpamakan bahwa manusia itu
seperti orang yang terikat tangan dan lehernya sejak lahir di dalam gua. Dan di
dinding gua itu tampak bayangan-bayangan yang bergerak-gerak dan seolah-olah
berkata-kata. Padahal bayangan-bayangan tersebut adalah entitas yang lalu
lalang di belakang yang terikat tadi. Apa artinya yang disampaikan Plato?,
silahkan ditafsirkan masing-masing yah teman-teman pembaca, kita bebas
berekspresi dan berpendapat serta berpikir.
Detik ini juga saat teman-teman pembaca membaca tulisan saya ini, maka
detik ini juga mari kita berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan yang ada
di pikiran saya sebagai berikut.
Apa
sisi lain dari pembelajaran during disaat pandemi ini yang dapat dijadikan
landasan pacu untuk tetap merawat akal sehat agar tidak terdistorsi makna “sosial”
yang kita pahami?
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini sudah tidak dapat dibendung lagi,
terutama pengaruhnya terhadap aspek dunia kehidupan sosial. Hampir tidak ada batasan-batasan
dalam bersosial. Hampir semua bagian sosial dalam kehidupan manusia serba
online dan saya ucapkan selamat datang di dunia online. Belum lagi di tahun ini
situasi didukung oleh pandemi yang mana mengharuskan manusia dalam setiap aspek
perkerjaan yang dilakukannya harus secara online untuk meminimalisir penyebaran
virus covid-19. Tapi pernahkah teman-teman pembaca berpikir sejenak bahwa ada
sisi lain yang mendistorsi makna “Sosial” yang kita pahami sebagai akibat dari
yang barusan saya sebut sebagai dunia yang serba online?
Mari
kita berjalan-jalan sebentar ke pemikiran Jean
Baudrillard, yang merupakan seorang pemikir postmodern. Teori yang menjadi
rujukan Jean Baudrillard disebut
Simalakrum. Mengutip buku berjudul “Posrealitas-Realitas Kebudayaan dalam Era
Post Metafisika karya Yasraf Amir
Piliang, bahwasannya Simulakra (Simulacra) diartikan sebagai (1) sesuatu
yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain, (2) salinan copy
(Copy). Sedangkan dalam Collins Thesaurus,
kata salinan mempunyai sinonim seabagai berikut: archetype, counterfeit,
duplicate, facsimile, forgery, image, imitation, likeness, model, pattern,
photocopy, photostat, print, replica, replication, representation,
reproduction, transcription, xerox. Terang benderang rujukan Jean Baudrillard yaitu Simalakrum, menjelaskan
sedikit tentang hyperealitas yang memiliki arti melampaui realitas atau realitas
yang bukan realitas dalam segala hal yang berhubungan dengan manusia terkhusunya
lingkup sosial di dalam dunia realitas
virtual.
Apa
hubungannya pemikiran Jean Baudrillard
tentang simalakrum dengan pembelajaran daring?
Teman-teman
pembaca, sadar atau pun tidak sadar saat pembelajaran daring di kampus, saya
mengamati bahwa jelas simalakrum benar adanya. Contoh yang saya coba analisis
dengan pendekatan pisau analisis pemikiran Jean
Baudrillard ialah di kampus saya sendiri yaitu pada mahasiswa jurusan Ilmu
Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya.
Sebagai seorang mahasiswa tentu teman-teman pembaca ikut merasakan bagaimana
rasanya pembelajaran during sebagai solusi belajar di tengah pandemi covid-19.
Selain itu, bagi pembaca selain mahasiswa, garis besarnya pasti merasakan
perpindahan dunia offline yang begitu revolusioner ke dunia online. Realitas
seperti itulah yang dimaksud Jean
Baudrillard sebagai realitas yang bukan realitas atau kita memasuki era
Post Realitas. Sedikit bercerita, pada awal penerapan belajar online di
Universitas Palangka Raya, sedikit banyak mahasiswa yang mengeluh terkait
pembelajaran online. Apalagi yang berada jauh di pelosok desa yang mau tidak
mau harus berbenturan dengan perkerjaan untuk mencari uang demi membayar UKT
(Uang Kuliah Tunggal). Sebut saja namanya Risky Ramadhani. Dia adalah seorang mahasiswa
angkatan 2017, jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Palangka Raya yang berani bersuara ke pers dan media yang juga
telah mau saya wawancarai. Secara garis besar Risky atau sering di sapa bung
Iky, mengeluh bahwa sinyal di desanya yang terletak di daerah Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Mau tidak mau ia harus naik ke bukit atau mencari tempat yang memiliki sinyal
untuk hanya sekedar mengikuti aktivitas berlajar mengajar during. Keluhan lain
terkait kuota pun menjadi keluh kesah yang tidak lupa disampaikan bung Iky.
Bayangkan saja sebelum pemerintah memberikan kuota gratis dan masih awal
penerapan kuliah daring mengunakan aplikasi zoom meeting banyak mahasiswa yang
berada di kelas sosial menengah dan menengah ke bawah mengeluh karena begitu
banyak kuota yang harus dibeli, belum lagi yang berada di pelosok perdesaan
kesulitan mencari kuota karena akses jalan yang rusak. Namun, setelah kuota
gratis mulai dibagikan, sedikit meringankan mahasiswa dan seiring berjalannya
waktu hingga hari ini sudah banyak mahasiswa yang sudah mulai beradaptasi dan
nyaman dengan suasana baru dalam pendidikan yang tercipta karena situasi
pandemi.
Namun,
teman-teman pembaca yang budiman, permasalahan yang sebenarnya yang ingin saya
sampaikan lewat tulisan belumlah sampai pada dagingnya, baru kulitnya saja jika
diibaratkan daging dan kulit. Maka daripada itu, mari kita mulai mengkonsumsi
dagingnya, tapi hati-hati tekanan darah tinggi yah, ha ha ha, bercanda.
Dalam
perenungan atau evaluasi saya tentang kuliah daring selama pandemi ini, jelas
bahwa dalam ruang lingkup sosial ada distorsi makna sosial yang telah terjadi.
Saya pijakan teori Simulakrum yang merupakan akar menuju dari realitas yang
bukan realitas atau jalan menuju post realitas (Melampaui Realitas). Apa alat
simulakrumnya?, yang membuat mahasiswa mengalami distorsi makna akan sosial.
Ya,
tidak lain dan tidak bukan adalah aplikasi yang digunakan sebagai perantara
mahasiswa-mahasiswa dan dosen agar dapat terhubungan dalam dunia virtual.
Menurut Jean Baudrillard, media
merupakan salah satu jalan penghubung bagi manusia yang akan mengalami tipuan
makna sosial sebagaimana merasakan dunia nyata yang sebenarnya adalah dunia
yang diciptakan media sehingga banyak menimbulkan dampak psikologis bagi
manusia. Konkret bagi saya penjelasan Jean
Baudrillard dalam karyanya yang berjudul “Berahi” bahwa di era Postmodern,
hyperealitas tidak dapat dibendung lagi karena perkembangan teknologi,
informasi dan komunikasi yang semakin masif.
“Ketika dua atau beberapa orang
saling berinteraksi secara virtual lewat media tertentu, misalnya lewat
teleconference atau mailing list group internet, yang tercipta bukanlah sebuah
realitas sosial, melainkan postrealitas sosial, yaitu realitas sosial yang
hadir dalam wujud media, yang menghubungkan komponen-komponen sosial dalam
sebuah relasi jarak jauh. Bila realitas sosial menyatukan komponen-komponen
sosial di dalam sebuah ruang sosial (Social space) yang nyata (real),
postrealitas sosial menyatukan mereka di dalam sebuah ruang sosial yang
bersifat artifisial atau virtual (virtual social space)” (Yasraf Amir Pilang, 2004, h.95).
Teman-teman
pembaca, pernahkan kalian merasakan cemas hanya karena melakukan kesalahan di
dunia aplikasi misalkanya whatapp?, Pernahkah kalian merasa tersinggung hanya
karena disinggung di sosial media?, Pernahkah kalian melihat ada orang yang depresi
karena mengetahui kebenaran melalui sosial media yang tidak sesuai harapan
orang tersebut? dan masih banyak lagi gejala-gejala psikologis yang tentunya
kita rasakan sebagai sisi lain dari kemajuan teknologi dewasa ini. Teman-teman,
apakah kalian rindu dengan suasana belajar mengajar offline yang jelas kongkret
terasa realita sosialnya?. Jika teman-teman tersenyum mambaca pertanyaan itu,
atau pun menganggukkan kepala, atau berkata iya di dalam hatinya, artinya kita
seiya sekata bahwa selama ini kita harus benar-benar sadar sampai pada
kesadaran kritis tentang makna sosial yang sebenarnya dan bukan malah hanya
sampai pada tahap kesadaran palsu atau kesadaran religius saja seperti yang
dikatakan Paulo Preire dalam bukunya
“Pendidikan Kaum Tertindas”.
Marilah
kita menjadi anak kecil lagi yang dipenuhi dengan rasa penasaran dan pertanyaan
yang begitu banyak akan lingkungan kita yang sedang tidak baik-baik saja.
Semakin kita dewasa semakin terbiasalah kita dengan lingkungan kita, itulah pesan moral yang disampaikan Jostein Gaarder dalam bukunya berjudul
“Dunia Sophie”. Sebab jalan manusia menuju kepada kebijaksanaan adalah dengan
filsafat yang pastinya didasari dengan dasar pertanyaan-pertanyaan yang
berangkat bukan dari rasa nyaman, rasa damai akan lingkungan sekitar yang
terlihat luarnya nampak baik-baik saja, melainkan melihat dunia terkhususnya
pada sisi sosial atau lebih khususnya lagi pada pembelajaran daring yang
diterapkan hari ini di luar dari satu sisi saja. Kita harus adil sejak dalam pikiran,
ujar Pramoedya Ananta Toer, seorang
sastrawan legendaris yang dipunyai negeri ini.
Apa
yang saya sampaikan hanyalah opini saya, silahkan untuk tidak disimpulkan
melainkan terus dipertanyakan dan diuji, sebab kebenaran itu pada dasarnya
relatif. Albert Einstein menerangkan
bahwa ketika kita mengendarai transportasi seperti motor misalnya, maka melihat
dari depan tampak lambat, melihat dari samping tampak sedang dan dari belakang
tampak cepat. Akhir kata, mengutip Reza
A.A. Waitimena dalam bukunya “Tentang Manusia”, bahwa ciri-ciri pikiran manusia
ialah tidak nyata, sementara, dan rapuh.
REFERENSI
1. Piliang, Amir
Yasraf. 2004. Posrealitas-Realitas
Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta. Jalasutra.
2. Gaarder, Jostein.
1991. Dunia Sophie. Penerbit Mizan
3.Wattimena, A.A Reza.
2016. Tentang Manusia-Dari Pikiran
Pemahaman hingga sampai Perdamaian Dunia. Yogyakarta. Maharsa.
4. Baudrillard, Jean.
2018. Berahi. Yogyakarta. Narasi dan
Promethea
5. Plato. 2018. Republik. Bekasi. Narasi dan Pustaka
Promethea
6. Freire, Paulo. 2013.
Pendidikan Kaum Tertindas. Pustaka
LP3ES Indonesia
Catatan :
1. Tulisan di atas telah saya kirimkan terlebih dahulu dalam rangka mengikuti lomba menulis opini yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Warta Jitu, FKIP ULM.
No comments:
Post a Comment