Informatif, edukatif, akurat dan terpercaya menyajikan informasi seputar filsafat, sosial, politik, pemerintahan, buku dan opini.

test pub-9703219827204705, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

7/24/2021

Sisi Lain Pembelajaran During : Menuju Kematian Sosial ?




“Hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani.” Socrates

 

Pada pembahasan kali ini saya mengajak teman-teman pembaca untuk bersama-sama mencari tahu gejala-gejala kehidupan terkhususnya pada dunia sosial kita agar dapat mendiaknosa penyakitnya segera, sehingga terhindar dari kematiaan sosial.  Dalam bukunya Plato yang berjudul Republik, ia mengumpamakan bahwa manusia itu seperti orang yang terikat tangan dan lehernya sejak lahir di dalam gua. Dan di dinding gua itu tampak bayangan-bayangan yang bergerak-gerak dan seolah-olah berkata-kata. Padahal bayangan-bayangan tersebut adalah entitas yang lalu lalang di belakang yang terikat tadi. Apa artinya yang disampaikan Plato?, silahkan ditafsirkan masing-masing yah teman-teman pembaca, kita bebas berekspresi dan berpendapat serta berpikir.  Detik ini juga saat teman-teman pembaca membaca tulisan saya ini, maka detik ini juga mari kita berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan yang ada di pikiran saya sebagai berikut.

 

Apa sisi lain dari pembelajaran during disaat pandemi ini yang dapat dijadikan landasan pacu untuk tetap merawat akal sehat agar tidak terdistorsi makna “sosial” yang kita pahami?

 

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini sudah tidak dapat dibendung lagi, terutama pengaruhnya terhadap aspek dunia kehidupan sosial. Hampir tidak ada batasan-batasan dalam bersosial. Hampir semua bagian sosial dalam kehidupan manusia serba online dan saya ucapkan selamat datang di dunia online. Belum lagi di tahun ini situasi didukung oleh pandemi yang mana mengharuskan manusia dalam setiap aspek perkerjaan yang dilakukannya harus secara online untuk meminimalisir penyebaran virus covid-19. Tapi pernahkah teman-teman pembaca berpikir sejenak bahwa ada sisi lain yang mendistorsi makna “Sosial” yang kita pahami sebagai akibat dari yang barusan saya sebut sebagai dunia yang serba online?

 

Mari kita berjalan-jalan sebentar ke pemikiran Jean Baudrillard, yang merupakan seorang pemikir postmodern. Teori yang menjadi rujukan Jean Baudrillard disebut Simalakrum. Mengutip buku berjudul “Posrealitas-Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika karya Yasraf Amir Piliang, bahwasannya Simulakra (Simulacra) diartikan sebagai (1) sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain, (2) salinan copy (Copy). Sedangkan dalam Collins Thesaurus, kata salinan mempunyai sinonim seabagai berikut: archetype, counterfeit, duplicate, facsimile, forgery, image, imitation, likeness, model, pattern, photocopy, photostat, print, replica, replication, representation, reproduction, transcription, xerox. Terang benderang rujukan Jean Baudrillard yaitu Simalakrum, menjelaskan sedikit tentang hyperealitas yang memiliki arti melampaui realitas atau realitas yang bukan realitas dalam segala hal yang berhubungan dengan manusia terkhusunya lingkup sosial  di dalam dunia realitas virtual.

 

Apa hubungannya pemikiran Jean Baudrillard tentang simalakrum dengan pembelajaran daring?

 

Teman-teman pembaca, sadar atau pun tidak sadar saat pembelajaran daring di kampus, saya mengamati bahwa jelas simalakrum benar adanya. Contoh yang saya coba analisis dengan pendekatan pisau analisis pemikiran Jean Baudrillard ialah di kampus saya sendiri yaitu pada mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya. Sebagai seorang mahasiswa tentu teman-teman pembaca ikut merasakan bagaimana rasanya pembelajaran during sebagai solusi belajar di tengah pandemi covid-19. Selain itu, bagi pembaca selain mahasiswa, garis besarnya pasti merasakan perpindahan dunia offline yang begitu revolusioner ke dunia online. Realitas seperti itulah yang dimaksud Jean Baudrillard sebagai realitas yang bukan realitas atau kita memasuki era Post Realitas. Sedikit bercerita, pada awal penerapan belajar online di Universitas Palangka Raya, sedikit banyak mahasiswa yang mengeluh terkait pembelajaran online. Apalagi yang berada jauh di pelosok desa yang mau tidak mau harus berbenturan dengan perkerjaan untuk mencari uang demi membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal). Sebut saja namanya Risky Ramadhani. Dia adalah seorang mahasiswa angkatan 2017, jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya yang berani bersuara ke pers dan media yang juga telah mau saya wawancarai. Secara garis besar Risky atau sering di sapa bung Iky, mengeluh bahwa sinyal di desanya yang terletak di daerah Kabupaten Kotawaringin Timur,  Kalimantan Tengah. Mau tidak mau ia harus naik ke bukit atau mencari tempat yang memiliki sinyal untuk hanya sekedar mengikuti aktivitas berlajar mengajar during. Keluhan lain terkait kuota pun menjadi keluh kesah yang tidak lupa disampaikan bung Iky. Bayangkan saja sebelum pemerintah memberikan kuota gratis dan masih awal penerapan kuliah daring mengunakan aplikasi zoom meeting banyak mahasiswa yang berada di kelas sosial menengah dan menengah ke bawah mengeluh karena begitu banyak kuota yang harus dibeli, belum lagi yang berada di pelosok perdesaan kesulitan mencari kuota karena akses jalan yang rusak. Namun, setelah kuota gratis mulai dibagikan, sedikit meringankan mahasiswa dan seiring berjalannya waktu hingga hari ini sudah banyak mahasiswa yang sudah mulai beradaptasi dan nyaman dengan suasana baru dalam pendidikan yang tercipta karena situasi pandemi.

 

Namun, teman-teman pembaca yang budiman, permasalahan yang sebenarnya yang ingin saya sampaikan lewat tulisan belumlah sampai pada dagingnya, baru kulitnya saja jika diibaratkan daging dan kulit. Maka daripada itu, mari kita mulai mengkonsumsi dagingnya, tapi hati-hati tekanan darah tinggi yah, ha ha ha, bercanda.

 

Dalam perenungan atau evaluasi saya tentang kuliah daring selama pandemi ini, jelas bahwa dalam ruang lingkup sosial ada distorsi makna sosial yang telah terjadi. Saya pijakan teori Simulakrum yang merupakan akar menuju dari realitas yang bukan realitas atau jalan menuju post realitas (Melampaui Realitas). Apa alat simulakrumnya?, yang membuat mahasiswa mengalami distorsi makna akan sosial.

 

Ya, tidak lain dan tidak bukan adalah aplikasi yang digunakan sebagai perantara mahasiswa-mahasiswa dan dosen agar dapat terhubungan dalam dunia virtual. Menurut Jean Baudrillard, media merupakan salah satu jalan penghubung bagi manusia yang akan mengalami tipuan makna sosial sebagaimana merasakan dunia nyata yang sebenarnya adalah dunia yang diciptakan media sehingga banyak menimbulkan dampak psikologis bagi manusia. Konkret bagi saya penjelasan Jean Baudrillard dalam karyanya yang berjudul “Berahi” bahwa di era Postmodern, hyperealitas tidak dapat dibendung lagi karena perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin masif.  Ketika dua atau beberapa orang saling berinteraksi secara virtual lewat media tertentu, misalnya lewat teleconference atau mailing list group internet, yang tercipta bukanlah sebuah realitas sosial, melainkan postrealitas sosial, yaitu realitas sosial yang hadir dalam wujud media, yang menghubungkan komponen-komponen sosial dalam sebuah relasi jarak jauh. Bila realitas sosial menyatukan komponen-komponen sosial di dalam sebuah ruang sosial (Social space) yang nyata (real), postrealitas sosial menyatukan mereka di dalam sebuah ruang sosial yang bersifat artifisial atau virtual (virtual social space)” (Yasraf Amir Pilang, 2004, h.95).

 

Teman-teman pembaca, pernahkan kalian merasakan cemas hanya karena melakukan kesalahan di dunia aplikasi misalkanya whatapp?, Pernahkah kalian merasa tersinggung hanya karena disinggung di sosial media?, Pernahkah kalian melihat ada orang yang depresi karena mengetahui kebenaran melalui sosial media yang tidak sesuai harapan orang tersebut? dan masih banyak lagi gejala-gejala psikologis yang tentunya kita rasakan sebagai sisi lain dari kemajuan teknologi dewasa ini. Teman-teman, apakah kalian rindu dengan suasana belajar mengajar offline yang jelas kongkret terasa realita sosialnya?. Jika teman-teman tersenyum mambaca pertanyaan itu, atau pun menganggukkan kepala, atau berkata iya di dalam hatinya, artinya kita seiya sekata bahwa selama ini kita harus benar-benar sadar sampai pada kesadaran kritis tentang makna sosial yang sebenarnya dan bukan malah hanya sampai pada tahap kesadaran palsu atau kesadaran religius saja seperti yang dikatakan Paulo Preire dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas”.

 

Marilah kita menjadi anak kecil lagi yang dipenuhi dengan rasa penasaran dan pertanyaan yang begitu banyak akan lingkungan kita yang sedang tidak baik-baik saja. Semakin kita dewasa semakin terbiasalah kita dengan lingkungan kita, itulah  pesan moral yang disampaikan Jostein Gaarder dalam bukunya berjudul “Dunia Sophie”. Sebab jalan manusia menuju kepada kebijaksanaan adalah dengan filsafat yang pastinya didasari dengan dasar pertanyaan-pertanyaan yang berangkat bukan dari rasa nyaman, rasa damai akan lingkungan sekitar yang terlihat luarnya nampak baik-baik saja, melainkan melihat dunia terkhususnya pada sisi sosial atau lebih khususnya lagi pada pembelajaran daring yang diterapkan hari ini di luar dari satu sisi saja. Kita harus adil sejak dalam pikiran, ujar Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan legendaris yang dipunyai negeri ini.

 

Apa yang saya sampaikan hanyalah opini saya, silahkan untuk tidak disimpulkan melainkan terus dipertanyakan dan diuji, sebab kebenaran itu pada dasarnya relatif. Albert Einstein menerangkan bahwa ketika kita mengendarai transportasi seperti motor misalnya, maka melihat dari depan tampak lambat, melihat dari samping tampak sedang dan dari belakang tampak cepat.  Akhir kata, mengutip Reza A.A. Waitimena dalam bukunya “Tentang Manusia”, bahwa ciri-ciri pikiran manusia ialah tidak nyata, sementara, dan rapuh.

 


REFERENSI

 

1. Piliang, Amir Yasraf. 2004. Posrealitas-Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta. Jalasutra.

2. Gaarder, Jostein. 1991. Dunia Sophie. Penerbit Mizan

3.Wattimena, A.A Reza. 2016. Tentang Manusia-Dari Pikiran Pemahaman hingga sampai Perdamaian Dunia. Yogyakarta. Maharsa.

4. Baudrillard, Jean. 2018. Berahi. Yogyakarta. Narasi dan Promethea

5. Plato. 2018. Republik. Bekasi. Narasi dan Pustaka Promethea

6. Freire, Paulo. 2013. Pendidikan Kaum Tertindas. Pustaka LP3ES Indonesia




Catatan :

1. Tulisan di atas telah saya kirimkan terlebih dahulu dalam rangka mengikuti lomba menulis opini yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Warta Jitu, FKIP ULM.



No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot

PAGES